Guru yang berdaya adalah guru yang memiliki kemampuan untuk tampil sebagai profesional dalam menjalankan tugasnya. Profesional itu ada kalau guru mendapatkan diklat pra-jabatan dan dalam jabatan. Sedangkan dalam menjalankan tugasnya guru harus memiliki komitmen yang kuat terhadap kemajuan dunia pendidikan, khususnya peserta didik. Namun mutu guru yang rendah membuat upaya pembinaan guru melalui dalam jabatan menjadi semakin berat. Setiap upaya peningkatan mutu guru selalu berakar dari: pembaharuan kurikulum, pengembangan metode-metode mengajar, penyediaan sarana dan prasarana. Apakah lembaga diklat guru kita benar-benar bisa membantu guru mengejar pembaharuan-pembaharuan itu? Tampaknya perlu sebuah pemikiran untuk mencari strategi/jalan keluar bagi upaya peningkatan ke-efektif-an diklat-diklat kita. Kita akan melihat terlebih dulu beberapa hambatan guru dalam melaksanakan tupoksinya, dari situ kita akan bisa merumuskan jalan panjang menghela pemberdayaan guru ke depan. Dari sudut pandang kejuruan saja, mari kita mulai dengan melihat sedikit catatan berikut:
- Dalam mengimplementasikan KTSP guru SMK mengalami kesulitan menerapkan pendekatan pembelajaran bahasa yang komunikatif dan berbasis kompetensi. Salah satu bukti nyata bahwa guru tidak mampu mengatasi kesulitannya adalah ditemukannya fakta bahwa guru secara sengaja mengadopsi silabus, RPP dari sekolah lain. Sehingga apa yang tertulis di silabus dan RPP tidak terjadi di kelas. Sebaliknya yang terjadi di kelas adalah guru mengajar dengan buku ajar dari penerbit tertentu dan membahasnya di kelas dari awal sampai habis. Jika hal ini terus dibiarkan, KTSP akan mengalami kegagalan bukan karena konsep dan kebijakan pemerintah ( masalah struktural) yang tidak baik, melainkan karena sekolah dan guru tidak taat azaz (masalah kultural).
- Dalam upaya mendukung kebijakan program SBI, khususnya guru-guru produktif mengalami kesulitan menerapkan pembelajaran dwi bahasa Indonesia – Inggris. Sekali lagi, fakta menunjukkan bahwa sebuah SMK SBI tidak mampu menampilkan karakteristik seperti yang dipersyaratkan oleh depdiknas. Jika hal ini terus dibiarkan lambat tapi pasti program SBI akan mengalami “wishful thinking” karena “jauh panggang dari api”.
- Dalam upaya peningkatan kemampuan berbahasa Inggris siswa, guru-guru bahasa Inggris mengalami kesulitan karena tidak cukup modal baik dalam hal kompetensi maupun finansial sekolah untuk mengadakan buku ajar dan bahan tes latihan untuk persiapan siswa mengikuti tes bahasa Inggris standar internasional. Selain karena buku di dalam negeri terbatas (hanya ada di luar negeri), harganya tidak terjangkau sekolah, juga karena tidak adanya lembaga penyedia bahan tes di negeri ini. Kalau tidak segera dicarikan jalan keluarnya, pembelajaran guru tidak akan pernah mampu mengejar standar kemampuan berbahasa Inggris yang dipersyaratkan.
- Dalam upaya mendukung program sertifikasi guru, guru-guru mengalami kesulitan memenuhi jumlah kredit seperti yang dipersyaratkan. Hal ini karena kuantitas pelatihan yang diselenggarakan oleh Depdiknas tidak mampu menjangkau seluruh guru yang ada. Sehingga dikhawatirkan jika tidak segera diciptakan mekanisme “jalan tol” baru model diklat di daerah, akan timbul kompetisi antar guru merebut jatah kursi diklat. Ekses dominansi akan berujung pada ketidakadilan yang kalau tidak segera diatasi menjadi kontra-produktif.
- Dalam upaya mendukung kebijakan peningkatan profesionalisme guru, guru-guru mengalami kesulitan mengembangkan intelektualitas, kreatifitas, inovasi dan daya ciptanya. Hal ini disebabkan karena minimnya tantangan yang memacu intelektualitas, kreatifitas, inovasi dan daya ciptanya. Jika boleh disebutkan salah satunya, mungkin hanya UN saja yang bisa membuat guru “sport jantung” (itupun kalau guru masih cukup kritis). Sehingga guru akan menjadi “anteng kitiran”. Kelihatanya diam, tapi bergerak. Kelihatannya bergerak tapi tidak ada perubahan yang berarti. Jika tidak segera diciptakan wadah untuk membuat guru bangkit mengasah intelektualitas, kreatifitas, inovasi dan daya ciptanya, maka lambat tapi pasti guru akan kehilangan “daadkracht-nya”.
- Selain itu, dari sisi kelembagaan: dalam upaya melahirkan generasi baru guru-guru muda yang berisi (berilmu), bemartabat, beretika, bernalar, kritis, tanggap dan bersemangat, sekolah sebagai lembaga pendidikan mengalami “jalan buntu”. Tidak mampu menciptakan jalan yang tepat menuju ke masyarakat akademis. Akibatnya, guru-guru juga mengalami kesulitan menciptakan “wajah akedemisnya”, yang ditandai oleh tidak adanya “Du choc des opinions jaillit la verite” (dalam perdebatan-perdebatan akan tampak kebenaran). Yang justru semakin tampak jelas adalah wajah sekolah sebagai “komoditas”. Kalau tidak segera diciptakan wahana untuk mewadahi hal itu, energi guru habis untuk menunggu datangnya tanggal 1 (gajian) dan sekedar “gugur tugas”. (yang ini romantisme saja ya..tapi relevan dengan fakta). Lalu apa yang harus kita lakukan? Tunggu aja di posting berikutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar